Sebuah celotehan kecil setelah hidup mengalami perputaran yang cukup signifikan. Berharap untuk kembali lurus menjalani hidup sesuai idealisme yang dahulu pernah dijalani bersama ayah tercinta. Benar atau tidak idealisme saat bersama ayah, namun hati kecil ini sempat tersentil kecil saat mengingat betapa saat-saat itu begitu sangat membuka hati dan menenangkan jiwa ini :)
Mengapa menggunakan kata nafsu dalam tulisan ini? jangan tanya itu, jawabannya simple... teringat dengan lagu bawaan d'massive yg berjudul cinta ini membunuhku :p namun saya suka dengan kata nafsu untuk posting hari ini.
Ide tulisan ini muncul pada minggu siang bada shalat dzuhur....dan inilah maksud judul diatas... silahkan simpulkan sendiri pembaca yang budiman.
Dimulai dengan sebuah kesederhaan,
Ayah mengajarkan jalan hidup seorang anak manja,
Banyak petuah diberikannya,
Sebagai modal kehidupan saat sang anak harus berdiri sendiri,
Saat ini sang ayah telah tiada,
Ujian datang kepada sang anak,
akankah petuah kehidupan akan terus dipegang,
petuah untuk selalu hidup sederhana dan mengendalikan nafsunya,
Dikatakannya...,
Bertemanlah dengan siapa saja,
Jangan kau pilah dan jangan kau pilih,
Seolah-olah engkau manusia terbaik,
Yang menentukan mana manusia yang pantas untuk mu,
Dan mana yang harus kau tinggal...
Dikatannya...,
Nak, bersabarlah menjalani hidup ini...
Berjalanlah, jika tidak sanggup naiklah apa yang dinaiki orang kebanyakan,
Dengan itu engkau akan mengetahui makna bersyukur,
Dan sekarangan aku lupa,
Lebih memilih mengeluarkan rupiah,
Daripada berjalan lima ratus meter,
Nafsu ini membunuhku,,,
Dan sekarang aku lupa,
Membeli barang keluaran terbaru tanpa melihat waktu,
Belilah barang baru saat yg lama telah rusak menunaikan tugasnya,
Sungguh nafsu ini membunuhku,
Jogja telah mengajarkanku untuk bersabar dan menunggu,
Bersabar dan menunggu tiket bioskop nonton hemat,
Namun nafsu telah menggiringku,
Tontonlah 3D dan hari minggu "lebih puas" katanya,
Sungguh nafsu ini membunuhku,
Ayah mengajarkan padaku,
Tetaplah melihat kebawah setinggi apapun dirimu kelak,
Dan nafsu ini tlah membuat kabut dimataku,
Lupa jika S1 bukanlah apa-apa,
Lupa bahwa kehidupan ini selalu berputar,
Dan diri ini tak selalu ada diatas...
Nafsu ini membunuhku,
Sebuah idealisme yang mulai terkoyak oleh kemampanan hidup,
Sebuah nafsu yang sekarang menggerogoti,
Seperti sebuah kanker yang tak tampak,
Namun sangat mematikan...
Ramadhan ini aku kembali diingatkan,
dan Istiqomah semoga bisa aku jalankan...
Amin...
Ayah, walaupun telah tiada, tetap saja dia datang mengingatkan diri ini. Harga sebuah kemapanan memang sangat mahal, baru mengerti semua makna kata-kata ayah saat ini. Mudah mengeluarkan rupiah untuk barang duniawi, dan berat mengeluarkan lima puluh ribu sebulan untuk sedekah.
Sebuah catatan kecil, sebagai penjaga idealisme sederhana,
Sebuah harapan untuk kembali hidup sederhana,
Jangan sampai,
Nafsu ini membunuhku,...
No comments:
Post a Comment