Saturday 12 January 2008

sEjaraH joGja

Semasa Kerajaan Mataram dipimpin Sri Susuhunan Paku Buwono II dan berkedudukan di Kartasuro, tahun 1742 terjadi pemberontakan oleh orang-orang Thionghoa yang kemudian terkenal sebagai Geger Patjina. Pemberontakan dipimpin Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa, putra Pangeran Mangkubumi. Pada saat pemberontakan terjadi, Paku Buwono (PB) II menyelamatkan diri ke Ponorogo bersama penasehatnya Van Hohendorff dan Wakil Gubernur Jenderal Van Imhoff. Dengan bantuan VOC pemberontakan berhasil ditumpas, dan dalang pemberontakan Raden Mas Said diasingkan ke Ceylon.
Setelah kekacauan mereda PB II meminta bantuan VOC merebut kembali ibukota Mataram di Kartasura. Maka ditandatanganilah perjanjian Ponorogo (1743) yang murni merupakan kontrak politik, bukan lagi sekedar kontrak dagang seperti perjanjian-perjanjian yang dibuat sebelumnya. Ketika menandatangani perjanjian ini PB II sama sekali tidak berkonsultasi dengan para pembesar keraton termasuk Pangeran Mangkubumi.
Peristiwa tersebut kemudian memicu perselisihan dikalangan keluarga keraton, terutama antara PB II dengan Pangeran Mangkubumi. Sementara itu PB II juga menempuh langkah besar dengan memindahkan ibukota kerajaan dari Kartasura ke Surakarta (1745) karena ibukota lama porak poranda akibat geger Patjina.
Atas usulan VOC, perselisihan didalam keraton didamaikan dengan dibuatnya Perjanjian Gianti pada 13 Februari 1755. Inti dari perjanjian yang ditandatangani di Gianti, Salatiga tersebut adalah pembagian kerajaan Mataram menjadi dua. (Itu sebabnya perjanjian Gianti disebut juga Palihan Nagari). Sebagian kerajaan dikuasai Sri Susuhunan PB II dan sebagian lagi dikuasai Sri Susuhunan Kabanaran yang kemudian berganti gelar menjadi Sri Sultan Hamengku Buwana I Senopati Ing Alaga’Abdu’rachman Sajidin Panata Gama Kalifa’tulah I.
Sebulan setelah perjanjian Gianti ditandatangani, 13 Maret 1755, Sri Sultan HB I mengumumkan nama Ngajogjakarta Hadiningrat sebagai kerajaan Mataram yang baru dan dipilih nama Ngajogjakarta sebagai ibukota. Pembangunan ibukota dimulai dengan membangun keraton. Selama keraton dibangun, HB I tinggal sementara di pesangrahan Ambarketawang yang terletak di Gamping, kurang lebih 5 km sebelah barat keraton yang sedang dibangun.
HB I mulai memasuki keraton pada 7 Oktober 1756. Tangggal dan tahun ini akhirnya disepakati sebagai hari jadi Kota yogyakarta.
Bersama dengan pembangunan keraton HB I memerintahkan membangun kampung disekeliling keraton. Kampung-kampung tersebut kemudian diberi nama menurut profesi orang-orang yang diperbolehkan tinggal dikampung-kampung itu. Kampung Bintaran untuk tinggal para Pangeran Bintara, Kampung Surokarsan untuk tinggal prajurit Surokarsan, Dagen untuk tinggal para undagi atau tukang kayu dan sebagainya.
Tahun 1813 lahir pemerintah Kadipaten Pakualaman yang dipimpin oleh Bendoro Pangeran Notokusumo, putra HB I yang oleh Sri Sultan III diangkat menjadi Pangeran Merdeka dengan gelar kanjeng Gusti Pangeran Adipati Pakualaman I. Sejak berdirinya Kadipaten pakualaman ini pemerintah di Ngajogjakarta berubah sedikit karena Kadipaten Pakualaman memiliki wilayah kekuasaannya sendiri.
Pada saat itu orang-orang Belanda kebanyakan tinggal dikampung Lojikecil, kemudian meluas ke Cokrodiningratan, Jetis dan Kotabaru. Orang Arab tinggal dikampung Sajidan dan Orang Thionghoa tinggal disekitar Kranggan.
Stasiun KA pertama di Yogya adalah Stasiun Lempuyangan yang dibuka pertama kali pada 2 Maret 1872 dan melayani rute Semarang-Yogya. Stasiun Tugu baru mulai dioperasikan 2 Mei 1887. Pertumbuhan kota yogyakarta tumbuh pesat sejak dibukanya dua stasiun ini.
Tahun 1890 berdiri kongsi Gas untuk pertama kalinya di Kampung Pathuk. Penerangan kota dilayani oleh Kongsi Gas ini. Listrik baru mulai dibangun jaringannya tahun 1917.
Sebelum ada penerangan gas, pengairan ledeng sudah lebih dulu dibangun, yakni bersamaan dengan dibangunnya Benteng Vredenburg (1765). Mata air berada di Desa karanggayam yang sampai sekarang masih berfungsi sebagai sumber air bersih yang dikelola Perusahaan Daerah Air Minum atau PDAM.
Hampir bersamaan dengan dibangunnya pengairan ledeng, juga dibangun saluran pembuangan air limbah dan kotoran di dalam tanah (riool). Yogya merupakan kota ketiga di Indonesia yang mempunyai anak sungai di dalam tanah yang berfungsi sebagai pembuangan limbah. Penyaring limbah yang pertama dibangun ada dikampung Ngasem, dekat keraton. Tetapi pada jaman pendudukan Jepang, pengolah limbah ini dihancurkan.
Ngajogjakarta pernah mengukir sejarah penting sebagai wilayah pertama yang menyatakan diri bergabung dengan pemerintah RI segera setelah diproklamasikan pada 17 agustus 1945.
Kota Yogyakarta semakin padat penduduknya sejak secara tidak terduga menjadi ibukota RI. Untuk sementara pindah ke kota ini pada 4 Januari 1946, yakni pada saat Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama. Serta merta kota menjadi semakin padat karena bukan hanya pegawai pegawai pemerintahan saja yang berbondong-bondong pindah ke Yogya tetapi juga penduduk sipil yang merasa tidak aman tinggal di Jakarta. Di Yogyakarta pula uang RI untuk pertama kalinya dicetak dan diedarkan yakni pada 26 Oktober 1946.
Meskipun kemudian pada tanggal 6 Juli 1949 ibukota kembali ke Jakarta, tetapi banyak dari penduduk sipil yang tidak kembali ke Jakarta. Sejak inilah sekolah-sekolah dan perguruan tinggi bermunculan. Sampai sekarang, Yogyakarta selalu ramai dikunjungi para pelajar dan mahasiswa yang ingin belajar di Yogyakarta.

No comments: